Kamis, 24 Juli 2008

Perkenalan Pertama Ku


Glitter Text @ Glitterfy.com




Assalamualaikum Wr.Wb

Aku WITRIADI. Lahir tanggal 17 Mei 1986. Agama islam. Anak ke 5 dari 6 bersaudara.
Selamat Datang di Blog ku yang pertama ini. Fhoto di atas adalah fhoto ku saat sekarang lho.
Hehehe..... Aku cakep n kren juga bukan?????? Sekian dulu perkenalan diri ku, ntar kita sambung lagi yach....Okey.....

Sekolah, Tempat Bersaing atau Belajar?

Sungguh memprihatinkan berita yang saya baca beberapa hari lalu ini. Seorang anak kelas 1 SD disuruh pindah sekolah oleh gurunya karena 3 dari sepuluh nilainya di bawah 7. Mata pelajaran yang dimaksud adalah Seni Budaya dan Keterampilan, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Ketentuan awal adalah siswa dengan nilai 60-69 masih bisa naik kelas.

Alasan pengeluaran siswa ini adalah karena sekolah mengejar Standar Sekolah Nasional, yaitu tujuh. Namun tidak dikatakan, apakah standar itu berlaku untuk seluruh kelas (1-6) atau hanya sejumlah kelas tertentu, atau justru malah untuk SMP dan SMA.

Bukankah selama ini sekolah dikenal sebagai tempat mengajar dan belajar? Dalam kegiatan belajar, tentunya kegagalan masih dianggap wajar, karena orang belajar dari kegagalannya. Akan tetapi, dengan menyuruh pindah siswanya, itu berarti mereka melarang siswa mereka belajar. Apabila sekolah mengharuskan siswanya mendapat nilai bagus, maka sekolah sudah beralih fungsi menjadi tempat persaingan bagi siswa. Ditambah lagi dengan ketentuan kelas di sekolah tersebut yang menentukan satu kelas hanya diisi 24 orang untuk mengikuti Standar Sekolah Internasional. Dengan memperhitungkan jumlah generasi muda Indonesia dan sedikitnya sekolah yang mampu mengajar, maka jumlah itu sungguh tidak mencukupi kebutuhan bangsa Indonesia dalam pendidikan.

Sekolah yang dimaksud merupakan Sekolah Negeri Percontohan. Apa maksud percontohan disini? Apakah mencontohkan agar sekolah mengeluarkan siswanya yang nilainya masih kurang? Terlebih lagi, siswa tersebut masih kelas 1. Saat itu adalah masa adaptasi bagi anak setelah belajar membaca dan menghitung dasar, sehingga sangat tidak pantas apabila anak diharuskan menghafalkan bahan pelajaran yang sedemikian banyak (10), sedangkan untuk membaca pun ia masih terbata-bata.

Selain itu, apabila alasannya adalah untuk mengejar Standar Sekolah Nasional, seharusnya sekolah memperbaiki terlebih dahulu kualitas pengajaran dan bahan ajarnya, sehingga dapat diikuti semua siswa dengan baik. Total siswa yang dikeluarkan adalah 2 orang, sedangkan 8 orang lainnya akan dievaluasi di kelas 2. Berarti total siswa yang dianggap belum cukup mampu mencapai 10 orang. Yakinkah bahwa yang kurang mampu adalah siswanya? Bisa saja pengajar dan bahan ajarnya yang kurang berkualitas dan tidak memperhitungkan kemampuan siswa, sehingga siswa sulit mengerti bahan ajar yang dijelaskan.

Meskipun siswa tersebut, diakui oleh ibunya, lemah dalam motorik dan lambat saat menulis, namun justru disinilah peran sekolah sebagai tempat belajar. Siswa seharusnya dibina untuk memperbaiki kelemahannya agar tidak sukar mengikuti pelajaran di kelas selanjutnya. Lagipula, nilai siswa tersebut semuanya di atas 60, yang berarti ia masih bisa naik kelas, apabila merujuk pada SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Minimal) yang ditetapkan Seksi Dikdas Kecamatan Tebet. Memindahkan anak tersebut ke sekolah lain berarti memindahkan tanggung jawab sekolah tersebut. Hal ini menandakan sekolah tersebut tidak dapat mengajar anak didiknya dengan baik agar bisa mengikuti pelajaran.

Sungguh ironis apabila sekolah memberlakukan ketentuan seperti ini. Masihkah sekolah menjadi tempat belajar dan mengajar? Jangan sampai hanya karena mengejar status sekolah berkualitas atau malah internasional semata tanpa memperbaiki kualitas pengajar dan bahan ajar, generasi muda Indonesia jadi korbannya.